27 Sep 2010

HADIST TENTANG REALISASI KEIMANAN

HADITS TENTANG REALISASI KEIMANAN

A. Pendahuluan
Di era globalisasi ini umat manusia sangat banyak yang jauh dari syaria’at Islam sehingga terkadang sering terjadi kesalahan tanpa di sadari oleh umat manusia itu sendiri. Padahal di dalam Islam sangat dianjurkan seseorang itu memasuki Islam secara kaffah (keseluruhan) bukan setengah-setengah. Bahkan seluruh ajaran Islam itu harus diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari agar tidak sia-sia dan berjalan pada relnya.
Tetapi pada saat sekarang ini karena dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan ilmu-ilmu Islam diharapkan bisa meminimalisir kejadian-kejadia seperti yang di atas. Karena banyak sekali orang yang mengaku-ngaku dirinya orang yang beriman dan bertaqwa. Dan bahkan dia mengatakan dirinya orang yang baik. Tetapi ketika kita telusuri kita perhatikan kehidupannya ternyata masih jauh dari harapan Islam. Keimanannya itu masih kita pertanyakan karena tidak sesuai dengan realisasi keimanan tersebut.
Atas dasar itulah penulis akan mencoba membahas dalam makalah yang sederhana ini betapa urgennya kita mengetahui tentang “Hadits tentang realisasi keimanan” agar lebih terarah dan untuk kepentingan kita bersama. Maka penulis akan memaparkan dalam makalah ini tentang pengertian memiliki rasa malu yang tinggi, tujuan memiliki rasa malu yang tinggi, serta memiliki solidaritas yang tinggi sama orang beriman.
Mudah-mudahan makalah yang singkat ini ada manfaatnya bagi kita bersama khususnya penulis sendiri. Namun penulis sadar bahwa makalah ini masih banyak terdapat kekurangan dan kejanggalan disebabkan karena keterbatasan ilmu penulis. Untuk itu penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan saran dari rekan-rekan semua utamanya pada dosen pembimbing, yaitu saran yang membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

B. Memiliki Rasa Malu yang Tinggi
1. Pengertian Memiliki Rasa Yang Tinggi
Memiliki rasa malu yang tinggi adalah salah satu unsur pendorong yang kuat bagi seseorang untuk berlawanan baik, dan menjauhi yang buruk dan yang jahat, sehingga ia menjadi orang yang tingkah lakunya dan sikapnya dalam bergaul bersih, sopan dan ramah tamah. Ia tidak akan berdusta dalam percakapan, tidak akan menghianati orang dan tidak memperturutkan hawa nafsunya melakukan hal-hal yang tidak diridhai oleh Allah serta perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma moral dan akhlak yang luhur. Rasulullah SAW bersabda:
حديث ابن عمر ان رسول الله صلى ا لله عليه وسلم مر على دجلا من ا لابصار و هويعظا ا خاه فى اسياء فقال رسول ا لله صلى ا لله عليه وسلم دعه فان اسياء من ا لايمان
Artinya: “Hadits ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah SAW melewati seorang laki-laki dari Ansor, dan ia menasehati saudaranya karena malu, maka berkata Rasulullah SAW, biarkan dia sesungguhnya malu itu adalah sebagian dari iman”.
Karena pengaruh dan buah yang baik yang dapat dibuahkan oleh sifat memuwai rasa malu yang tinggi bagi kehidupan manusia, maka Islam menempatkan sifat itu di tempat teratur di antara sifat-sifat akhlak-akhlak yang diajarkan oleh agama.bersabda Rasulullah SAW:
ان لكل دين حلقا و خلق الاسلام الحياء
Artinya: “Tiap agama mempunyai (akhlak) budi pekerti yang menonjol dan budi pekerti Islam ialah sifat malu”.
2. Tujuan Memiliki Rasa Malu Yang Tinggi
a. Memiliki rasa malu yang tinggi membuat kita ke jalan kebaikan.
b. Sifat kemalu-maluan itu bagian dari iman dan iman tempatnya di surga. Sedang ketidak maluan adalah bahagian dari kekerasan dan kebaikan hati yang akan mengantarkan orang ke neraka.

C. Memiliki Rasa Solidaritas Yang Tinggi sama Orang Beriman
Islam mengikat semua individu dalam masyarakat atas dasar persamaan kepentingan. Islam memperkokoh perasaan sulung buntu dan setia kawan dan memiliki solidaritas yang tinggi sama orang beriman. Rasulullah SAW bersabda:
ان انس بن مالك رضي ا لله عنه, عنى النبى صلى الله عليه وسلم قال: لا يؤ من احدكم حتى يحب لاءخيه مايحب لنفسه
Artinya: “Dari Anas bin Malik meridhai Allah daripadanya, Nabi SAW bersabda, tidak akan sempurna iman seseorang, sehingga ia suka (cinta) untuk saudaranya (sesama muslim) apa yang ia suka untuk dirinya sediri”.
Islam memperkokoh perasaan saling bantu dan serta kawan (solidaritas) dan memperteguh kesadaran memiliki kewajiban bersama untuk kepentingan bersama. Islam menghendaki agar kehidupan manusia berlangsung atas landasan solidaritas, tidak menyulitkan orang lain, saling membantu antara sesama muslim.
Seperti yang telah kita ketahui bahwa solidaritas ialah setia kawan artinya rela berkorban atau bersedia dan ikhlas baik dalam menerima ataupun memberikan sesuatu yang kita miliki, baik itu harta, benda ataupun nyawa, untuk suatu kepentingan yang besar dan lebih mulia. Karena itu, seorang yang bersolidaritas (setia kawan), ia tidak akan mementingkan diri, keluarga atau kelompoknya sendiri, tetapi lebih memikirkan dan lebih mengutamakan kepentingan yang lebih besar. Yaitu kemaslahatan umat manusia, terutama umat Islam secara keseluruhan.
Solidaritas merupakan salah satu perilaku terpuji yang sangat dianjurkan oleh ajaran Islam. Seorang yang bersolidaritas yang tinggi, ia bersedia berbagai rezki kepada sesama muslim, terutama saudara-saudara kita yang sangat membutuhkan pertolongan.
Firman Allah SWT dalam surah al-Imaran ayat 92:

Artinya: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai...”
Q.S. al-Imran ayat 92).

D. Kesimpulan
Memiliki rasa malu yang tinggi adalah salah satu unsur pendorong yang kuat bagi seseorang untuk berlawanan baik, dan menjauhi yang buruk dan yang jahat, sehingga ia menjadi orang yang tingkah lakunya dan sikapnya dalam bergaul bersih, sopan dan ramah tamah. Ada dua tujuan memiliki rasa malu yang tinggi yaitu:
a. Memiliki rasa malu yang tinggi membuat kita ke jalan kebaikan.
b. Sifat kemalu-maluan itu bagian dari iman dan iman tempatnya di surga. Sedang ketidak maluan adalah bahagian dari kekerasan dan kebaikan hati yang akan mengantarkan orang ke neraka.
Dalam ajarabn Islam sudah diatur segala aspek kehidupan dalam merealisasikan keimanan ini seseorang harus bisa mengorbankan semua, harta, benda bahkan nyawanya. Karena seorang muslim yang beriman harus bisa menyayangi orang lain seperti dirinya sendiri. Artinya seorang muslim harus mempunyai solidaritas yang tinggi bagi yang beriman.

Thoharoh

THOHAROH

BAB I
PENDAHULUAN

Islam adalah agama yang suci, dan juga agama rahmat bagi sekalian alam, maka salah satu bukti bahwa Islam rahmat bagi sekalian alam, sangat peduli tentang kebersihan, bahkan shalat adalah rukun Islam yang kedua, ketika seorang hamba ingin mengerjakan ibadah tersebut salah satu syarat syahnya adalah harus suci daripada hadast dan najis.
Baik firman Allah SWT atau hadist Rasulullah SAW sangat banyak yang menjelaskan tentang kebersihan. Dan bahkan kebersihan itu adalah sebagian daripada iman. Jadi pada hakikatnya Islam itu sangat indah kalau kita aplikasikan sebagai pedoman hidup kita serta kita laksanakan dengan secara kaffah atau menyeluruh.
Thoharoh adalah bersih atau suci serta suci daripada hadast dan najis. Dalam thoharoh ini sangat urgen sekali untuk dipelajari dan bagaimana sebernarnya thoharoh yang baik dan benar, bagaimana cara membersihkannya, apa itu najis, bagaimana najis dan lain sebagainya.
Maka atas dasar itulah penulis ingin mengupas dalam makalah ini tentang thoharoh, betapa urgennya untuk kita ketahui demi untuk kepentingan kita bersama, maka dalam makalah yang singkat ini penulis ingin memaparkan tentanag pengertian thoharoh, cara berwhudu, syarat-syarat fardhu berwhudu, rukun berwhudu, sunnat berwhudu, dan hal-hal yang membatalkan whudu.
Mudah-mudahan makalah ini ada manfaatnya bagi kita semua khsusnya bagi penulis sendiri, dan mudah-mudahan dengan tampilnya makalah ini ibadah dan cara beribadah kita kepada Allah SWT semakin baik dan benar. Amin...amin...amin... ya rabbal alamin















BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Thoharoh/ Bersuci

Thoharoh/ bersuci menurut bahasa artinya bersih sedang menurut syari’at ialah suci dari hadast dan najis. Allah Ta’ala berfirman:


Artinya: “... Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan dirinya”.
Berkenaan dengan kebersihan, Islam adalah agama yang sangat mengutamakannya, sehingga salah satu syarat sah ibadah shalat adalah suci dari hadast dan najis.
Rasulullah SAW bersabda:
لا يقبل الله صلاة بغير طهور
Artinya: “Allah tidak menerima shalat yang tidak dengan suci”.
Menurut pendapat yang lain bahwa thoharoh berarti bersih (nadlafah), suci (natahah) terbebas (khulus) dari kotoran (danas). Sedangkan menurut syara’ thoharoh ialah mengangkat (menghilangkan) penghalang yang timbul dari hadast atau najis. Dengan demikian thoharoh syar’i terbagi 2 macam yaitu thoharoh dari hadast dan thoharoh dari najis.
Menurut pendapat yang lain lagi bahwa thoharoh menurut bahasa artinya “bersih” sedang menurut syara’ berarti bersih dari hadast dan najis. Bersuci karena hadast hanya dibagian badan saja, hadast ada 2 yaitu: hadas besar dan hadast kecil. Menghilangkan hadast besar yaitu dengan mandi dan tayammum, sedangkan menghilangkan hadast kecil yaitu dengan whudu’ atau tayammum, bersuci dari najis berlaku pada badan, pakaian dan tempat. Cara menghilangkannya harus dicuci dengan air suci dan menusucikan.
1. Najis
Yang dimaksud najis ialah kotoran. Setiap najis pastilah kotor tetapi tidak semua kotoran termasuk najis. Najis (najasah) menurut bahasa artinya kotoran, sedangkan menurut syara’ berarti yang mencegah sahnya shalat, seperti air kencing dan sebagainya. Najis dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu:
a. Najis Mughanizah: yaitu najis yang berat, yakni najis yang timbul dari anjing dan babi.
Cara mensucikannya ialah lebih dahulu dihilangkan wujud benda najis itu, kemudian baru dicuci bersih dengan air sampai tujuh kali dan permulaan diantara pensucian itu dicuci dengan air yang bercampur dengan tanah.
Cara ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW:
طهورانا احد كم اذا ولغ فيه ا لكلب ان يغسله سبع مرات اولاهن او اخراهن با لتراب. (رواه الترمذى)
Artinya: “sucinya tempat (perkasmu) apabila dijilat anjing adalah mencucinya tujuh kali, permulaan atau penghabisan diantara pensucian itu dicuci dengan air yang bercampur tanah”.
b. Najis Mukhallaf, ialah najis yang ringan, seperti air kencing bayi laki-laki yang umurnya kurang dari dua tahun dan belum makan apa-apa kecuali air susu ibunya.
Cara menghilangkannya cukup dengan memercikkan air pada benda yang kena najis itu sampai bersih.
Rasulullah SAW bersabda:
يغسل من بول الحيا ر ية ويرش من بو ل الغلام (رواه ابو داود والنسائ)
Artinya: “Barang yang terkena air kencing anak perempuan harus dicuci, sedang bila terkena air kencing anak laki-laki cukuplah dengan memercikkan air padanya”.
c. Najis Mutawassithah (sedang), yaitu kotoran seperti kotoran manusia atau binatang, air kencing, nanah, darah, bangkai (selain bangkai ikan, belalang dan mayat manusia) dan najis-najis yang lain selain yang tersebut ini dapat dibagi menjadi 2 bagian:
1). Najis ‘ainiyah: yaitu najis yang yang bendanya berwujud. Cara mensucikannya dengan menghilangkan zatnya lebih dahulu, hingga hilang rasa, bau dan warnanya, kemudian menyiramnya dengan air sampai bersih.
2). Najis hukmiyah: yaitu najis yang tidak terwujud bendanya, seperti bekas kencing, arak yang sudah kering. Caranya mensucikannya cukup dengan mengalirkan air pada bekas najis itu.
d. Najis yang dapat dimaafkan:
Najis yang dapat dimaafkan antara lain:
1) Bangkai binatang yang darahnya tidak mengalir, seperti nyamuk, kutu busuk dan sebagainya.
2) Najis yang sedikit sekali.
3) Nanah atau darah dari kudis atau bisulnya sendiri yang belumsembuh.
4) Debu yang campur najis dan lain-lainnya yang sukar dihindarkan.








B. Cara Berwhudu
Wudhu menurut bahasa artinya “Bersih dan Indah”, sedang menurut syara’, ialah membersihkan anggota whudu untuk menghilangkan hadast kecil. Orang yang hendak melaksanakan shalat, wajib terlebih dahulu berwdhu, karena menjadi syarat shalat. Allah SWT berfirman:







Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai kedua mata kaki”. (al-Maidah: 6)
1. Syarat-syarat Fardhu Whudu
Jika ditinggalkan salah satunya, whudunya tidak sah:
a. Islam
b. Mumayyiz, artinya orang yang sudah dapat membedakan antara baik dan buruk dari pekerjaan yang dikerjakannya, sebab itu harus baligh (dewasa) dan berakal (sehat akalnya).
c. Tidak berhadast besar, kecuali whudunya diniatkan untuk mandi wajib.
d. Dengan air yang suci mensucikan.
e. Tidak ada yang menghalangi sampainya air kepada kulit (anggota whudu). Misalnya penghalang itu berupa getah cat dan sebagainya.
2. Rukun Fardu Whudu
a. Niat Whudu artinya berniat menghilangkan hadast kecil. Cara melakukannya tepat pada waktu membasuh muka.
b. Membasuh muka, batas muka yang wajib dibasuh ialah dari tempat tumbuh rambut kepala sebelah atas hingga tulang dahu sebelah bawah, dan antara telinga kiri sampai telinga kanan, tidak boleh ketinggalan sedikitpun, bahkan wajib dilebihkan sedikit agar kita yakin terbasuh semuanya.
c. Membasuh kedua tangan sampai dengan siku-siku.
d. Menyapu atau mengusap sebagian kepala, walau sebagian kecil, sebaiknya tidak kurang dari selebar ubun-ubun, baik yang diusap itu kulit kepala atau rambutnya.
e. Membasuh kedua kaki sampai dengan dua mata kaki.
f. Tertib, artinya menerbitkan rukun-rukun di atas, mendahulukan yang seharusnya dudahulukan dan mengakhirkan yang seharusnya diakhirkan.
3. Sunnat Whudu
Untuk lebih menyempurnakan whudu disunatkan pula melakukan pekerjaan sebagai berikut:
a. Membaca Basmalah (Bismillahirrahmaanirrahiim) pada permulaan whudu.
b. Menghadap kiblat.
c. Menggosok giig sebelum berwhudu, selain dari orang puasa sesudah tergelincir matahari (pada waktu dzuhur).
d. Membaca dua kalimat syahadat sebelum berwhudu.
e. Mendahulukan anggota kanan dari pada yang kiri.
f. Membasuh dua telapak tangan sampai pergelangan.
g. Berkumur-kumu.
h. Membasuh lubang hidung sebelum berniat.
i. Menyapu seluruh kepala dengan air.
j. Menyapu seluruh telinga luar dan dalam.
k. Menyilang-nyilangi anak jari kedua tangan dengan cara berpenca dan menyilang-nyilangi anak jari kaki dimulai kelingking kaki kanan disudahi pada kelingking kaki kiri. Menyilang-nyilangi seperti ini akan menjadi wajib, apabila memang air tidak bisa sampai pada sela-sela jari melainkan harus dengan cara disilangi.
l. Jangan minta pertolongan orang lain, kecuali jika terpaksa karena berhalangan seperti sakit.
m. Menggosok anggota whudu agar menjadi lebih bersih
n. Menjaga supaya percikan air bekar untuk berwhudu tidak kembali ke badan.
o. Jangan bercakap-cakap sewaktu berwhudu kecuali ada hajat.
p. Membaca doa sesudah whudu.
4. Hal-hal Yang Membatalkan Whudu
Seseorang yang sudah berwhudu boleh mengerjakan shalat beberapa waktu atau beberapa macam shalat sunnat selama whudunya belum batal (rusak).
Sedang hal-hal yang membatalkan whudu ialah:
a. Keluar sesuatu dari dua pintu (kubul dan dubur) atau dari salah satunya, baik berupa zat angin. Misalnya buang air kecil maupun buang air besar atau keluar angin.
b. Hilang akal sebab gila, pingsan, mabuk atau tidur nyenyak.
c. Bersentuh kulit laki-laki dengan kulit perempuan dalam keadaan keduanya suadah sampai umur (dewasa) dan bukan muhrim. Muhrim artinya keluarga yang tidak boleh dinikahi.
d. Menyentuh kemaluan atau pintu dubur dengan telapak tangan baik kemaluan orang lain atau kemaluan sendiri, kemaluan orang dewasa atau kemaluan anak-anak.
5. Cara berwhudu
Sebelum berwhudu lebih dahulu harus membersihkan najis yang ada pada badan. Cara mengerjakan whudu sebagai berikut:
a. Membaca basmalah
“Bismillaahirrahmaanirrahiim”
Artinya: “ Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang”.
Seraya mencuci kedua tangan sampai pergelangan tangan hingga bersih.
b. Selesai membersihkan tangan lalu berkumur-kumur tiga kali sambil membersihkan gigi.
c. Selesai berkumur kemudian mencuci lubang hidung sebanyak tiga kali.
d. Selesai mencuci lubang hidung, kemudian membasuh muka tiga kali mulai dari tempat tumbuh rambut kepala sebelah atas hingga tulang dagu sebelah bawah dan antara telinga kiri sampai dengan telingan kanan, sambil niat whudu’:
e. Selesai membasuh muka, kemudian kedua tangan sampai dengan siku-siku tiga kali.
f. Selesai membasuh tangan lalu menyapur sebagian rambut kepala tiga kali.
g. Setelah selesai menyapu telinga, kemudian yang terakhir membasuh kedua kaki hingga mata kaki tiga kali.


BAB III
KESIMPULAN

Thoharoh adalah menurut bahasa artinya bersih sedang menurut syari’at ialah suci dari hadast dan najis. Menurut pendapat yang lain bahwa thoharoh berarti bersih (nadlafah), suci (natahah) terbebas (khulus) dari kotoran (danas). Sedangkan menurut syara’ thoharoh ialah mengangkat (menghilangkan) penghalang yang timbul dari hadast atau najis. Dengan demikian thoharoh syar’i terbagi 2 macam yaitu thoharoh dari hadast dan thoharoh dari najis.
Najis adalah kotoran. Setiap najis pastilah kotor tetapi tidak setiap kotoran termasuk najis. Najis terbagi tiga macam yaitu:
1. Najis Mughanizah: yaitu najis yang berat, yakni najis yang timbul dari anjing dan babi.
2. Najis Mukhallaf, ialah najis yang ringan, seperti air kencing bayi laki-laki yang umurnya kurang dari dua tahun dan belum makan apa-apa kecuali air susu ibunya.
3. Najis Mutawassithah (sedang), yaitu kotoran seperti kotoran manusia atau binatang, air kencing, nanah, darah, bangkai (selain bangkai ikan, belalang dan mayat manusia) dan najis-najis yang lain selain yang tersebut ini dapat dibagi menjadi 2 bagian:
a. Najis ‘ainiyah: yaitu najis yang yang bendanya berwujud. Cara mensucikannya dengan menghilangkan zatnya lebih dahulu, hingga hilang rasa, bau dan warnanya, kemudian menyiramnya dengan air sampai bersih.
b. Najis hukmiyah: yaitu najis yang tidak terwujud bendanya, seperti bekas kencing, arak yang sudah kering. Caranya mensucikannya cukup dengan mengalirkan air pada bekas najis itu.

DAFTAR PUSTAKA

Rifai. N.H, Pintar Ibadah, Jombang: Lintas Media. 2005.

Nasution. Lahmuddin, Fiqh I. Semarang: Toha Putra, 2003.

Rifa’i, Moh. Fiqih Islam Lengkap, Semarang: Karya Toha Putra, 2005.