29 Jul 2010

Ilmu Dalam Pandangan Islam

1. Apakah Ilmu itu ?
“Ilmu adalah pengetahuan tentang sesuatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu dibidang (pengetahuan) itu (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
2. Kedudukan Ilmu Menurut Islam
Ilmu menempati kedudukan yang sangat penting dalam ajaran islam , hal ini terlihat dari banyaknya ayat AL qur’an yang memandang orang berilmu dalam posisi yang tinggi dan mulya disamping hadis-hadis nabi yang banyak memberi dorongan bagi umatnya untuk terus menuntut ilmu.
Didalam Al qur’an , kata ilmu dan kata-kata jadianya di gunakan lebih dari 780 kali , ini bermakna bahwa ajaran Islam sebagaimana tercermin dari AL qur’an sangat kental dengan nuansa nuansa yang berkaitan dengan ilmu, sehingga dapat menjadi ciri penting dariagama Islam sebagamana dikemukakan oleh Dr Mahadi Ghulsyani9(1995;; 39) sebagai berikut ;
‘’Salah satu ciri yang membedakan Islam dengan yang lainnya adalah penekanannya terhadap masalah ilmu (sains), Al quran dan Al –sunah mengajak kaum muslim untuk mencari dan mendapatkan Ilmu dan kearifan ,serta menempatkan orang-orang yang berpengetahuan pada derajat tinggi’’
ALLah s.w.t berfirman dalam AL qur;’an surat AL Mujadalah ayat 11 yang artinya:
“ALLah meninggikan baeberapa derajat (tingkatan) orang-orang yang berirman diantara kamu dan orang-orang yang berilmu (diberi ilmupengetahuan).dan ALLAH maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”
ayat di atas dengan jelas menunjukan bahwa orang yang beriman dan berilmu akan menjadi memperoleh kedudukan yang tinggi. Keimanan yang dimiliki seseorang akan menjadi pendorong untuk menuntut ILmu ,dan Ilmu yang dimiliki seseorang akan membuat dia sadar betapa kecilnya manusia dihadapan ALLah ,sehingga akan tumbuh rasakepada ALLah bila melakukan hal-hal yang dilarangnya, hal inisejalan dengan fuirman ALLah:
“sesungguhnya yang takut kepada allah diantara hamba –hambanya hanyaklah ulama (orang berilmu) ; (surat faatir:28)
Disamping ayat –ayat Qur’an yang memposisikan Ilmu dan orang berilmu sangat istimewa, AL qur’an juga mendorong umat islam untuk berdo’a agar ditambahi ilmu, seprti tercantum dalam AL qur’an sursat Thaha ayayt 114 yang artinya “dan katakanlah, tuhanku ,tambahkanlah kepadaku ilmu penggetahuan “. dalam hubungan inilah konsep membaca, sebagai salah satu wahana menambah ilmu ,menjadi sangat penting,dan islam telah sejak awal menekeankan pentingnya membaca , sebagaimana terlihat dari firman ALLah yang pertama diturunkan yaitu surat Al Alaq ayat 1sampai dengan ayat 5 yang artuinya:
“Di samping ayat –ayat AL qur”an, banyak nyajuga hadisyang memberikan dorongan kuat untukmenuntut Ilmu antara lain hadis berikut yang dikutip dari kitab jaami’u Ashogir (Jalaludin-Asuyuti, t. t :44 ) :
“Carilah ilmu walai sampai ke negri Cina ,karena sesungguhnya menuntut ilmu itu wajib bagisetuap muslim’”(hadis riwayat Baihaqi).
“Carilah ilmu walau sampai ke negeri cina, karena sesungguhnya menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim . sesungguhnya Malaikat akan meletakan sayapnya bagi penuntut ilmu karena rela atas apa yang dia tuntut “(hadist riwayat Ibnu Abdil Bar).
Dari hadist tersebut di atas , semakin jelas komitmen ajaran Islam pada ilmu ,dimana menuntut ilmu menduduki posisi fardhu (wajib) bagi umat islam tanpa mengenal batas wilayah,
3. Klarsfikasi Ilmu menurut ulama islam.
Dengan melihat uraian sebelumnya ,nampak jelas bagaimana kedudukan ilmu dalam ajaran islam . AL qur’an telah mengajarkan bahwa ilmu dan para ulama menempati kedudukan yang sangat terhormat, sementara hadis nabimenunjukan bahwa menuntut ilmu merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim. Dari sini timbul permasalahan apakah segala macam Ilmu yang harus dituntut oleh setiap muslim dengan hukum wajib (fardu), atau hanya Ilmu tertentu saja ?. Hal ini mengemuka mengingat sangat luasnya spsifikasi ilmu dewasa ini .
Pertanyaan tersebut di atas nampaknya telah mendorong para ulama untuk melakukan pengelompokan (klasifikasi) ilmu menurut sudut pandang masing-masing, meskipun prinsip dasarnya sama ,bahwa menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim. Syech Zarnuji dalam kitab Ta’liimu AL Muta‘alim (t. t. :4) ketika menjelaskan hadis bahwa menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim menyatakan :
“Ketahuilah bahwa sesungguhya tidak wajib bagi setiap muslim dan muslimah menuntutsegsls ilmu ,tetapi yang diwajibkan adalah menuntut ilmu perbuatan (‘ilmu AL hal) sebagaimana diungkapkan ,sebaik-baik ilmu adalah Ilmu perbuaytan dan sebagus –bagus amal adalah menjaga perbuatan”.
Kewajiban manusia adalah beribadah kepeda ALLah, maka wajib bagi manusia(Muslim ,Muslimah) untuk menuntut ilmu yang terkaitkan dengan tata cara tersebut ,seprti kewajiban shalat, puasa, zakat, dan haji ,mengakibatkan wajibnya menuntut ilmu tentang hal-hal tersebut . Demikianlah nampaknya semangat pernyataan Syech Zarnuji ,akan tetapi sangat di sayangkan bahwa beliau tidak menjelaskan tentang ilmu-ilmu selain “Ilmu Hal” tersebut lebih jauh di dalam kitabnya.
Sementara itu Al Ghazali di dalam Kitabnya Ihya Ulumudin mengklasifikasikan Ilmu dalam dua kelompok yaitu 1). Ilmu Fardu a’in, dan 2). Ilmu Fardu Kifayah, kemudian beliau menyatakan pengertian Ilmu-ilmu tersebut sebagai berikut :
“Ilmu fardu a’in . Ilmu tentang cara amal perbuatan yang wajib, Maka orang yang mengetahui ilmu yang wajib dan waktu wajibnya, berartilah dia sudah mengetahui ilmu fardu a’in “ (1979 : 82)
“Ilmu fardu kifayah. Ialah tiap-tiap ilmu yang tidak dapat dikesampingkan dalam menegakan urusan duniawi “ (1979 : 84)
Lebih jauh Al Ghazali menjelaskan bahwa yang termasuk ilmu fardu a’in ialah ilmu agama dengan segala cabangnya, seperti yang tercakup dalam rukun Islam, sementara itu yang termasuk dalam ilmu (yang menuntutnya) fardhu kifayah antara lain ilmu kedokteran, ilmu berhitung untuk jual beli, ilmu pertanian, ilmu politik, bahkan ilmu menjahit, yang pada dasarnya ilmu-ilmu yang dapat membantu dan penting bagi usaha untuk menegakan urusan dunia.
Klasifikasi Ilmu yang lain dikemukakan oleh Ibnu Khaldun yang membagi kelompok ilmu ke dalam dua kelompok yaitu :
1. Ilmu yang merupakan suatu yang alami pada manusia, yang ia bisa menemukannya karena kegiatan berpikir.
2. Ilmu yang bersifat tradisional (naqli).
bila kita lihat pengelompokan di atas , barangkali bisa disederhanakan menjadi 1). Ilmu aqliyah , dan 2). Ilmu naqliyah.
Dalam penjelasan selanjutnya Ibnu Khaldun menyatakan :
“Kelompok pertama itu adalah ilmu-ilmu hikmmah dan falsafah. Yaituilmu pengetahuan yang bisa diperdapat manusia karena alam berpikirnya, yang dengan indra—indra kemanusiaannya ia dapat sampai kepada objek-objeknya, persoalannya, segi-segi demonstrasinya dan aspek-aspek pengajarannya, sehingga penelitian dan penyelidikannya itu menyampaikan kepada mana yang benar dan yang salah, sesuai dengan kedudukannya sebagai manusia berpikir. Kedua, ilmu-ilmu tradisional (naqli dan wadl’i. Ilmu itu secara keseluruhannya disandarkan kepada berita dari pembuat konvensi syara “ (Nurcholis Madjid, 1984 : 310)
dengan demikian bila melihat pengertian ilmu untuk kelompok pertama nampaknya mencakup ilmu-ilmu dalam spektrum luas sepanjang hal itu diperoleh melalui kegiatan berpikir. Adapun untuk kelompok ilmu yang kedua Ibnu Khaldun merujuk pada ilmu yang sumber keseluruhannya ialah ajaran-ajaran syariat dari al qur’an dan sunnah Rasul.
Ulama lain yang membuat klasifikasi Ilmu adalah Syah Waliyullah, beliau adalah ulama kelahiran India tahun 1703 M. Menurut pendapatnya ilmu dapat dibagi ke dalam tiga kelompok menurut pendapatnya ilmu dapat dibagi kedalam tiga kelompok yaitu : 1). Al manqulat, 2). Al ma’qulat, dan 3). Al maksyufat. Adapun pengertiannya sebagaimana dikutif oleh A Ghafar Khan dalam tulisannya yang berjudul “Sifat, Sumber, Definisi dan Klasifikasi Ilmu Pengetahuan menurut Syah Waliyullah” (Al Hikmah, No. 11, 1993), adalah sebagai berikut :
1). Al manqulat adalah semua Ilmu-ilmu Agama yang disimpulkan dari atau mengacu kepada tafsir, ushul al tafsir, hadis dan al hadis.
2). Al ma’qulat adalah semua ilmu dimana akal pikiran memegang peranan penting.
3). Al maksyufat adalah ilmu yang diterima langsung dari sumber Ilahi tanpa keterlibatan indra, maupun pikiran spekulatif
Selain itu, Syah Waliyullah juga membagi ilmu pengetahuan ke dalam dua kelompok yaitu : 1). Ilmu al husuli, yaitu ilmu pengetahuan yang bersifat indrawi, empiris, konseptual, formatif aposteriori dan 2). Ilmu al huduri, yaitu ilmu pengetahuan yang suci dan abstrak yang muncul dari esensi jiwa yang rasional akibat adanya kontak langsung dengan realitas ilahi .
Meskipun demikian dua macam pembagian tersebut tidak bersifat kontradiktif melainkan lebih bersifat melingkupi, sebagaimana dikemukakan A.Ghafar Khan bahwa al manqulat dan al ma’qulat dapat tercakup ke dalam ilmu al husuli
4. Apakah filsafat itu ?
Secara etimologis filsafat berasal dari bahasa Yunani dari kata “philo” berarti cinta dan” sophia” yang berarti kebenaran, sementara itu menurut I.R. Pudjawijatna (1963 : 1) “Filo artinya cinta dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu ingin dan karena ingin lalu berusaha mencapai yang diinginkannya itu . Sofia artinya kebijaksanaan , bijaksana artinya pandai, mengerti dengan mendalam, jadi menurut namanya saja Filsafat boleh dimaknakan ingin mengerti dengan mendalam atau cinta dengan kebijaksanaan.
Ilmu mengkaji hal-hal yang bersifat empiris dan dapat dibuktikan, filsafat mencoba mencari jawaban terhadap masalah-masalah yang tidak bisa dijawab oleh Ilmu dan jawabannya bersifat spekulatif, sedangkan Agama merupakan jawaban terhadap masalah-masalah yang tidak bisa dijawab oleh filsafat dan jawabannya bersifat mutlak. Menurut Sidi Gazlba (1976 : 25) Pengetahuan ilmu lapangannya segala sesuatu yang dapat diteliti (riset dan/atau eksperimen) ; batasnya sampai kepada yang tidak atau belum dapat dilakukan penelitian. Pengetahuan filsafat : segala sesuatu yang dapat dipikirkan oleh budi (rasio) manusia yang alami (bersifat alam) dan nisbi; batasnya ialah batas alam namun demikian ia juga mencoba memikirkan sesuatuyang diluar alam, yang disebut oleh agama Tuhan. Sementara itu Oemar Amin Hoesin (1964 : 7) mengatakan bahwa ilmu memberikan kepada kita pengetahuan, dan filsafat memberikan hikmat
5. Apakah Filsafat Ilmu itu ?
filsat ilmu pada dasarnya merupakan upaya untuk menyoroti dan mengkaji ilmu, dia berkaitan dengan pengkajian tentang obyek ilmu, bagaimana memperolehnya serta bagaimana dampai etisnya bagi kehidupan masyarakat. Secara umum kajian filsafat ilmu mencakup :
1) Aspek ontologis
2) Aspek epistemologis
3) Axiologis
Aspek ontologis berkaiatan dengan obyek ilmu, aspek epistemologis berkaiatan dengan metode, dan aspek axiologis berkaitan dengan pemanfatan ilmu. Dari sudut ini folosuf muslim telah berusaha mengkajinya dalam suatu kesatuan dengan prinsip dasar nilai-nilai keislamanyang bersumebr pada Al Qur’an dan Sunnah Rasul.

Kedudukan ilmu dalam Islam
Islam adalah nizam (sistem hidup) yang kamil (lengkap) dan syamil (menyeluruh). Islam terbina di atas asas yang kukuh. Islam terdiri daripada rukun-rukun yang besar hinggalah kepada cabang-cabang dan ranting-rantingnya yang kecil. Rukun, cabang dan ranting tertegak di atas asasnya dan saling perlu memerlu antara satu sama lain. Islam umpama pokok, bermula daripada biji benih, kemudian mengeluarkan akar dan pucuk. Seterusnya ia membesar dan membentuk batang, dahan, cabang, ranting dan dedaun hingga menjadi sebatang pokok yang rendang, tegak dan kukuh. Namun, setiap helai daun dihubungkan terus dengan akarnya.
Islam dalam bahasa Arab, bererti tunduk dan menyerah atau taat. Sebagai satu agama, Islam berdiri di atas dasar menyerah diri sepenuhnya dan taat kepada AIlah s.w.t. Islam juga bererti selamat dan sejahtera. Pengertian ini menunjukkan bahawasanya manusia tidak akan dapat menikmati keselamatan dan kesejahteraan yang sebenarnya, kecuali dengan jalan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah s.w.t.
Islam merupakan satu landasan hidup. Beramal dengan Islam bererti melahirkan individu yang mencerminkan akidah dan akhlak Islam, melahirkan masyarakat yang berpegang teguh dengan pemikiran dan cara hidup (manhaj) yang dibawakan oleh Islam, menegakkan sebuah daulah atau pemerintahan yang melaksanakan Islam sebagai syariat perundangan, peraturan dan perlembagaan hidup serta memikul amanah dakwah yang menjadi petunjuk dalam menegakkan kebenaran dan keadilan.
Islam bukan satu agama yang hanya mempunyai ruang lingkup kehidupan peribadi manusia, seperti yang disalahertikan oleh kebanyakan orang Islam sendiri. Islam memberikan bimbingan untuk setiap langkah kehidupan sama ada perseorangan mahupun masyarakat, material dan moral, ekonomi dan politik, hukum dan kebudayaan, nasional dan antarabangsa.
Allah menerusi Al-Quran yang disampaikan oleh Utusan-Nya memerintahkan supaya manusia memeluk agama Islam secara keseluruhan, tanpa pilih-pilih, dan mengikuti semua bimbingan-Nya dalam segenap lapangan hidup.
Masyarakat Islam pula ialah masyarakat yang menterjemahkan tuntutan kalimah tauhid secara menyeluruh dalam kehidupan mereka. Setiap cabang dan bidang kehidupan masyarakat Islam dikuasai dan diawasi sepenuhnya oleh asas tauhid yang kukuh. Semua tindakannya terbit daripada pancaran cahaya akidah. Setiap permasalahan hidupnya di bina di atas perhambaan atau pengabdian kepada Allah s.w.t semata-mata.
Apabila manusia membebaskan hatinya daripada beriman kepada yang lain kecuali kepada Allah Yang Maha Esa serta berpegang teguh dengannya, manusia akan bebas daripada sebarang kongkongan ideologi lain. Pemikirannya hanya tertumpu kepada Allah s.w.t. Lenyaplah sebarang kekeliruan dan kekacauan yang menyesatkan manusia. Dia bebas daripada sebarang bentuk kemungkaran. Dia juga bebas daripada takut kepada kuasa-kuasa di dunia yang cuba menghalangnya untuk mengabdikan diri kepada Allah s.w.t semata-mata.
Namun apa yang dikesali, praktik hidup umat Islam kini sedang menolak keterangan al-Quran al-Karim dan sunnah Rasulullah. Pelbagai hujahan menyesatkan dan mengelirukan dikeluarkan. Mereka menolak kekuasaan, kedaulatan dan janji-janji Allah s.w.t., menolak cara hidup yang diredai Allah s.w.t. untuk difahami, disedari, diyakini dan dilaksanakan.
Berbagai-bagai penyakit menyerang jiwa, fikiran dan tingkahlaku umat seolah Islam suatu barang dagangan. Islam sebagai cara hidup turut diperdagangkan di dalam hati orang-orang yang mengaku beriman. Rasa cinta kepada Islam sebagai cara hidup yang Allah redai sudah tiada. Rasa keperluan kepada pembentukan masyarakat Islam juga tiada. Yang wujud ialah realiti mempertikaikan kehendak-kehendak Allah s.w.t. Ini bererti mempertikaikan ketaatan yang Islam kehendaki, mempertikaikan nilai-nilai syarak, mempertikaikan akhlak dan mempertikaikan keperibadian Islam.
Pertikaian dan perbezaan dalam masalah agama dan dunia yang terjadi di kalangan umat ini dilatarbelakangi oleh faktor dan motivasi yang banyak dan berbeza-beza. Diantaranya, ada yang nampak dan ada juga yang tersembunyi, ada yang motivasinya untuk mengetahui kebenaran dengan dalil-dalil yang kuat. Dalam hal ini, menurut istilah para peneliti disebut ‘munazharah’ atau ‘jidal’. Dan ada yang menerima nasihat yang buruk, keras kepala, tipu daya, dan sifat bangga diri.
Pertikaian dan perbezaan ini berlaku adalah disebabkan faktor tidak mampu memahami setiap permasalahan secara menyeluruh, melakukan ‘taklid’ tanpa dasar dan dalil, fanatik terhadap sesuatu pendapat atau pemikiran, sikap dengki kepada orang lain, tamak kepada kepentingan diri dan mengikut hawa nafsu. Apa yang menyedihkan ada di kalangan umat Islam yang memulau dan menghukum umat Islam lain dengan syirik dan bidaah kerana orang lain tidak sama adat resam budayanya dengan mereka.
Malah mereka cuba memaparkan fahaman mereka untuk diserap kepada masyarakat lain. Dalam hal ini, mengapa mereka tidak menerima hakikat kejadian yang ditentukan Allah bahawa sememangnya manusia ini akan berselisih pendapat seperti dalam ayat dan firman Allah s.w.t, “Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Ia menjadikan manusia umat yang satu. Tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menetapkan mereka,” (Surah Hud : 118-119).
Justeru, di situ letaknya kepentingan menuntut ilmu. Rasulullah bersabda bermaksud: “Sesiapa yang inginkan dunia, maka hendaklah dia menuntut ilmu, siapa yang inginkan akhirat, maka dia perlu menuntut ilmu dan sesiapa yang ingin kedua-duanya maka hendaklah ia menuntut ilmu.”
Masyarakat yang berilmu dan menguasai ilmu mempunyai akhlak dan akal yang adil serta jujur dan tidak akan melakukan sesuatu yang salah bukan sahaja kerana ia melanggar undang-undang negara dan hukum Islam, tetapi juga kerana ia melanggar asas akhlaknya. Sayidina Ali bin Abi Talib mengatakan, “Tiada kekayaan lebih utama daripada akal. Tiada kepapaan lebih menyedihkan daripada kebodohan. Tiada warisan lebih baik daripada pendidikan”.
Mereka menjauhkan diri daripada tindakan dan pemikiran yang tidak adil dan tidak jujur bukan hanya kerana melanggar hukum tetapi juga kerana mereka sendiri mempunyai sikap dan akhlak yang antiketidakadilan dan ketidakjujuran. Mereka juga akan sentiasa menjunjung dua petunjuk yang nyata iaitu al-Quran dan hadis Rasulullah selain ijmak dan bermusyawarah dalam setiap perbuatan dan bagi mencapai sesuatu keputusan. Sabda Rasulullah s.a.w: “Sesungguhnya serigala itu hanya akan dapat memakan kambing yang tersisih (dari kumpulannya)”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar