Inteligensi dan IQ
Orang seringkali menyamakan arti inteligensi dengan IQ, padahal kedua istilah ini mempunyai perbedaan arti yang sangat mendasar. Arti inteligensi sudah dijelaskan di depan, sedangkan IQ atau tingkatan dari Intelligence Quotient, adalah skor yang diperoleh dari sebuah alat tes kecerdasan. Dengan demikian, IQ hanya memberikan sedikit indikasi mengenai taraf kecerdasan seseorang dan tidak menggambarkan kecerdasan seseorang secara keseluruhan.
Skor IQ mula-mula diperhitungkan dengan membandingkan umur mental (Mental Age) dengan umur kronologik (Chronological Age). Bila kemampuan individu dalam memecahkan persoalan-persoalan yang disajikan dalam tes kecerdasan (umur mental) tersebut sama dengan kemampuan yang seharusnya ada pada individu seumur dia pada saat itu (umur kronologis), maka akan diperoleh skor 1. Skor ini kemudian dikalikan 100 dan dipakai sebagai dasar perhitungan IQ. Tetapi kemudian timbul masalah karena setelah otak mencapai kemasakan, tidak terjadi perkembangan lagi, bahkan pada titik tertentu akan terjadi penurunan kemampuan.
Pengukuran Inteligensi
Pada tahun 1904, Alfred Binet dan Theodor Simon, 2 orang psikolog asal Perancis merancang suatu alat evaluasi yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi siswa-siswa yang memerlukan kelas-kelas khusus (anak-anak yang kurang pandai). Alat tes itu dinamakan Tes Binet-Simon. Tes ini kemudian direvisi pada tahun 1911.
Tahun 1916, Lewis Terman, seorang psikolog dari Amerika mengadakan banyak perbaikan dari tes Binet-Simon. Sumbangan utamanya adalah menetapkan indeks numerik yang menyatakan kecerdasan sebagai rasio (perbandingan) antara mental age dan chronological age. Hasil perbaikan ini disebut Tes Stanford_Binet. Indeks seperti ini sebetulnya telah diperkenalkan oleh seorang psikolog Jerman yang bernama William Stern, yang kemudian dikenal dengan Intelligence Quotient atau IQ. Tes Stanford-Binet ini banyak digunakan untuk mengukur kecerdasan anak-anak sampai usia 13 tahun.
Salah satu reaksi atas tes Binet-Simon atau tes Stanford-Binet adalah bahwa tes itu terlalu umum. Seorang tokoh dalam bidang ini, Charles Sperrman mengemukakan bahwa inteligensi tidak hanya terdiri dari satu faktor yang umum saja (general factor), tetapi juga terdiri dari faktor-faktor yang lebih spesifik. Teori ini disebut Teori Faktor (Factor Theory of Intelligence).
Di samping alat-alat tes di atas, banyak dikembangkan alat tes dengan tujuan yang lebih spesifik, sesuai dengan tujuan dan kultur di mana alat tes tersebut dibuat.
Inteligensi dan Bakat
Inteligensi merupakan suatu konsep mengenai kemampuan umum individu dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dalam kemampuan yang umum ini, terdapat kemampuan-kemampuan yang amat spesifik. Kemampuan-kemampuan yang spesifik ini memberikan pada individu suatu kondisi yang memungkinkan tercapainya pengetahuan, kecakapan, atau ketrampilan tertentu setelah melalui suatu latihan. Inilah yang disebut Bakat atau Aptitude. Karena suatu tes inteligensi tidak dirancang untuk menyingkap kemampuan-kemampuan khusus ini, maka bakat tidak dapat segera diketahui lewat tes inteligensi.
Alat yang digunakan untuk menyingkap kemampuan khusus ini disebut tes bakat atau aptitude test. Tes bakat yang dirancang untuk mengungkap prestasi belajar pada bidang tertentu dinamakan Scholastic Aptitude Test dan yang dipakai di bidang pekerjaan adalah Vocational Aptitude Test dan Interest Inventory. Contoh dari Scholastic Aptitude Test adalah tes Potensi Akademik (TPA) dan Graduate Record Examination (GRE). Sedangkan contoh dari Vocational Aptitude Test atau Interest Inventory adalah Differential Aptitude Test (DAT) dan Kuder Occupational Interest Survey.
Inteligensi dan Kreativitas
Kreativitas merupakan salah satu ciri dari perilaku yang inteligen karena kreativitas juga merupakan manifestasi dari suatu proses kognitif. Meskipun demikian, hubungan antara kreativitas dan inteligensi tidak selalu menunjukkan bukti-bukti yang memuaskan. Walau ada anggapan bahwa kreativitas mempunyai hubungan yang bersifat kurva linear dengan inteligensi, tapi bukti-bukti yang diperoleh dari berbagai penelitian tidak mendukung hal itu. Skor IQ yang rendah memang diikuti oleh tingkat kreativitas yang rendah pula. Namun semakin tinggi skor IQ, tidak selalu diikuti tingkat kreativitas yang tinggi pula. Sampai pada skor IQ tertentu, masih terdapat korelasi yang cukup berarti. Tetapi lebih tinggi lagi, ternyata tidak ditemukan adanya hubungan antara IQ dengan tingkat kreativitas.
Para ahli telah berusaha mencari tahu mengapa ini terjadi. J. P. Guilford menjelaskan bahwa kreativitas adalah suatu proses berpikir yang bersifat divergen, yaitu kemampuan untuk memberikan berbagai alternatif jawaban berdasarkan informasi yang diberikan. Sebaliknya, tes inteligensi hanya dirancang untuk mengukur proses berpikir yang bersifat konvergen, yaitu kemampuan untuk memberikan satu jawaban atau kesimpulan yang logis berdasarkan informasi yang diberikan. Ini merupakan akibat dari pola pendidikan tradisional yang memang kurang memperhatikan pengembangan proses berpikir divergen walau kemampuan ini terbukti sangat berperan dalam berbagai kemajuan yang dicapai oleh ilmu pengetahuan.
Popularity: 9%
Perkembangan Emosi Masa Remaja
Dalam literatur klasik psikologi, emosi merupakan reaksi (kejiwaan) yang muncul lantaran adanya stimulan. Emosi yang sangat fruktuatif (mudah berubah) terjadi pada masa remaja. Remaja sering tidak mampu memutuskan simpul-simpul ikatan emosional kanak-kanaknya dengan orang tua secara logis dan objektif. Dalam usaha itu mereka kadang-kadang harus menentang, berdebat, bertarung pendapat dan mengkritik dengan pedas sikap-sikap orang tua (Thomburg, 1982). Meskipun hal ini sulit dilakukan namun dalam upaya pencapaian kemandirian yang optimal terhadap diri remaja maka upaya tersebut harus ditempuh.
Fenomena ini menarik untuk dicermati, sebab perilaku anak remaja tersebut bila ditinjau dari perspektif psikologis merupakan upaya pelepasan dirinya dari keterikatan-keterikan orang tua yang dirasa terlalu membelenggu, ia berusaha mandiri secara emosi, dan tidak lagi menjadikan orang tua sebagai satu-satunya sandaran dalam pengambilan keputusan. Ia memutuskan sesuatu atas dasar kebutuhan dan kemampuan pribadi, walaupun pada suatu saat masih mempertimbangkan kepentingan dan harapan orang tua.
Bagi remaja, tuntutan untuk memperoleh kemandirian secara emosional merupakan dorongan internal dalam mencari jati diri, bebas dari perintah-perintah dan kontrol orang tua. Remaja menginginkan kebebasan pribadi untuk dapat mengatur dirinya sendiri tanpa bergantung secara emosional pada orang tuanya. Bila remaja mengalami kekecewaan, kesedihan atau ketakutan, mereka ingin dapat mengatasi sendiri masalah-masalah yang dihadapinya. Meskipun remaja dapat mendiskusikan masalah-masalahnya dengan ayah atau ibunya, tetapi mereka ingin memperoleh kemandirian secara emosional dengan mengatasi sendiri masalah-masalahnya dan ingin memperoleh status yang menyatakan bahwa dirinya sudah dewasa.
Perkembangan kemandirian emosional remaja, tidak terlepas dari penerapan pengasuhan orang tua melalui interaksi antara ibu dan ayah dengan remajanya. Orang tua merupakan lingkungan pertama yang paling berperan dalam pengasuhan anak remajanya, sehingga mempunyai pengaruh yang paling besar pada pembentukan kemandirian emosional remaja. Beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan seperti I Nyoman Karna (2002), Miftahul Jannah (2004), Risa Panti Ariani (2004) menunjukkan bahwa gaya pengasuhan orang tua yang harmonis, hangat, penuh kasih sayang (authoritative) menunjang perkembangan kemandirian emosional remaja, namun sebaliknya gaya pengasuhan yang penuh dengan tuntutan, orang tua tidak perhatian, penuh dengan sanksi, tidak pernah melibatkan anak dalam pengambilan keputusan akan menghambat perkembangan kemandirian remaja khususnya kemandirian emosional artinya remaja tidak mampu melepaskan diri dari ketergantungan dan keterikatan secara emosional dengan orang tua.
Masa remaja merupakan masa yang penuh gejolak. Pada masa ini mood (suasana hati) bisa berubah dengan sangat cepat. Hasil penelitian di Chicago oleh Mihalyi Csikszentmihalyi dan Reed Larson (1984) menemukan bahwa remaja rata-rata memerlukan hanya 45 menit untuk berubah dari mood “senang luar biasa” ke “sedih luar biasa”, sementara orang dewasa memerlukan beberapa jam untuk hal yang sama. Perubahan mood (swing) yang drastis pada para remaja ini seringkali dikarenakan beban pekerjaan rumah, pekerjaan sekolah, atau kegiatan sehari-hari di rumah. Meski mood remaja yang mudah berubah-ubah dengan cepat, hal tersebut belum tentu merupakan gejala atau masalah psikologis.
Reaksi-reaksi dan ekspresi emosional yang masih labil dan belum terkendali pada masa remaja dapat berdampak pada kehidupan pribadi maupun sosialnya. Dia menjadi sering merasa tertekan dan bermuram durja atau justru dia menjadi orang yang berperilaku agresif. Pertengkaran dan perkelahian seringkali terjadi akibat dari ketidakstabilan emosinya.
Usaha remaja untuk memperoleh kebebasan emosional sering disertai perilaku "pemberontakan" dan melawan keinginan orangtua. Bila tugas perkembangan ini sering menimbulkan pertentangan dalam keluarga dan tidak dapat diselesaikan di rumah , maka remaja akan mencari jalan keluar dan ketenangan di luar rumah. Tentu saja hal tersebut akan membuat remaja memiliki kebebasan emosional dari luar orangtua sehingga remaja justru lebih percaya pada teman-temannya yang senasib dengannya. Jika orangtua tidak menyadari akan pentingnya tugas perkembangan ini, maka remaja Anda dalam kesulitan besar.
Untuk mendapatkan kebebasan emosional, remaja mencoba merenggangkan hubungan emosionalnya dengan orang tua; ia harus dilatih dan belajar untuk memilih dan menentukan keputusannya sendiri. Usaha ini biasanya disertai tingkah laku memberontak atau membangkang. Dalam hal ini diharapkan pengertian orang tua untuk tidak melakukan tindakan yang bersifat menindas, akan tetapi berusaha membimbingnya secara bertahap. Usahakan jangan menciptakan suasana lingkungan yang lain, yang kadang-kadang menjerumuskannya. Anak menjadi nakal, pemberontak dan malah mempergunakan narkotika (menyalahgunakan obat).
Perkembangan Inteligensi Pada Remaja
Dalam pandangan Jean Piaget (seorang ahli perkembangan kognitif), pada masa remaja awal (prepuber) daya pikir anak SMP sudah mencapai tahap operasi formal. Pada usia ini secara mental anak telah dapat berpikir logis tentang berbagai gagasan yang abstrak. Dengan kata lain, berpikir operasi formal lebih bersifat hipotetis dan abstrak serta sistematis dan ilmiah dalam memecahkan masalah daripada berpikir konkrit.
Pada periode ini, idealnya para remaja sudah memiliki pola pikir sendiri dalam usaha memecahkan masalah-masalah yang kompleks dan abstrak. Kemampuan berpikir para remaja berkembang sedemikian rupa sehingga mereka dengan mudah dapat membayangkan banyak alternatif pemecahan masalah beserta kemungkinan akibat atau hasilnya.
Para remaja tidak lagi menerima informasi apa adanya, tetapi mereka akan memproses informasi itu serta mengadaptasikannya dengan pemikiran mereka sendiri. Mereka juga mampu mengintegrasikan pengalaman masa lalu dan sekarang untuk ditransformasikan menjadi konklusi, prediksi, dan rencana untuk masa depan. Dengan kemampuan operasional formal ini, para remaja mampu mengadaptasikan diri dengan lingkungan sekitar mereka.
Masa remaja adalah periode dimana seseorang mulai bertanya-tanya mengenai berbagai fenomena yang terjadi di lingkungan sekitarnya sebagai dasar bagi pembentukan nilai diri mereka. Elliot Turiel (1978) menyatakan bahwa para remaja mulai membuat penilaian tersendiri dalam menghadapi masalah-masalah populer yang berkenaan dengan lingkungan mereka, misalnya: politik, kemanusiaan, perang, keadaan sosial, dsb. Remaja tidak lagi menerima hasil pemikiran yang kaku, sederhana, dan absolut yang diberikan pada mereka selama ini tanpa bantahan.
Secara kritis, remaja akan lebih banyak melakukan pengamatan keluar dan membandingkannya dengan hal-hal yang selama ini diajarkan dan ditanamkan kepadanya. Sebagian besar para remaja mulai melihat adanya “kenyataan” lain di luar dari yang selama ini diketahui dan dipercayainya. Ia akan melihat bahwa ada banyak aspek dalam melihat hidup dan beragam jenis pemikiran yang lain. Baginya dunia menjadi lebih luas dan seringkali membingungkan, terutama jika ia terbiasa dididik dalam suatu lingkungan tertentu saja selama masa kanak-kanak.
Tidak sedikit anak remaja yang berupaya menentukan pilihan-pilihan kegiatannya atas dasar pertimbangan yang rasional, baik dari sisi kompetensi pribadi dan minatnya terhadap pilihan tersebut. Sebagai contoh bila di sekolah terdapat bermacam-macam program ekstra kurikuler, maka anak tersebut berupaya memilih salah satu ekstra kurikuler yang diminatinya serta sesuai dengan kemampuan dirinya, tidak lagi atas dasar pilihan orang tua.
Sebagai contoh lain adalah dalam hal memilih sekolah. Tidak sedikit remaja yang memilih sekolah atas dasar pertimbangan hal-hal yang ada dalam pribadinya bukan karena pilihan ditentukan oleh orang tuanya, walaupun juga masih ada remaja yang menurut apa yang menjadi pilihan, apa yang menjadi ketentuan, serta apa yang menjadi harapan orang tua bagi dirinya.
Rasa Ingin Tahu yang Besar Karena remaja berada pada perkembangan kognitif yang fleksibel, maka remaja memiliki rasa ingin tahu yang besar. Bila rasa ingin tahu itu diarahkan ke hal-hal yang positif (misalnya : penelitian ilmiah, lintas alam, dsb) maka itu akan sangat membentuk dirinya dengan baik. Tapi bila rasa ingin tahu itu disalurkan dengan cara yang negative maka hal itu bisa merusak dirinya sendiri. Rokok, narkoba, menonton film porno, melakukan seks bebas merupakan tindakan yang dilakukan remaja karena berawal dari rasa ingin tahu yang besar.
Penyebab lainnya bisa juga diakibatkan oleh pola asuh orangtua yang cenderung masih memperlakukan remaja sebagai anak-anak, sehingga anak tidak memiliki keleluasan dalam memenuhi tugas perkembangan sesuai dengan usia dan mentalnya. Semestinya, seorang remaja sudah harus mampu mencapai tahap pemikiran abstrak supaya saat mereka lulus sekolah menengah, sudah terbiasa berpikir kritis dan mampu untuk menganalisis masalah dan mencari solusi terbaik. Untuk itu sekolah, keluarga, lingkungan punya tanggung jawab untuk membina remaja dengan benar.
Definisinya ialah pandangan dan perasaan kita untuk menilai tentang semua yang ada pada diri kita, baik dari dalam maupun dari luar. Dengan adanya konsep diri maka kita akan membangun rasa percya diri pada diri kita.Setiap orang pasti memiliki pandangan tentang konsep dirinya yang berbeda-beda. Ada yang memiliki konsep diri negatif, tetapi ada juga yang memiliki konsep diri positif. Kita akan berperilaku sesuai dengan konsep diri yang kita miliki.Misalnya, kalau kita selalu menganggap diri kita bodoh, maka nantinya kita bisa benar-benar bodoh. Karena itu, memiliki konsep diri negatif bukanlah hal yang baik. Bahkan, dengan kita memiliki konsep diri yang negatif malahan akan membuat kita merasa tidak percaya diri. Berbeda dengan jika kita, memiliki konsep diri yang positif. Misalnya, kita merasa remaja yang sehat, maka kita akan berusaha untuk hidup sehat juga. Dengan memiliki konsep diri yang positif kita akan selalu berpikiran positif. Hal ini dapat memacu rasa percaya diri kita untuk selalu melakukan hal – hal yang kita anggap baik untuk diri kita dan orang lain.
Masalahnya, terkadang kita tidak memiliki rasa percaya diri dan kita selalu memiliki konsep diri yang negatif tentang diri kita. Misalnya saja, jika kita merasa tidak memiliki bakat. tidak pintar, dan hal – hal negatif lainnya yang dapat menghancurkan rasa percaya diri kita. Padahal kalau kita berusaha untuk melihat lebih dalam, kedalam diri kita. Maka, kita akan bisa melihat kelebihan yang kita miliki. Selanjutnya, tergantung bagaimana kita mengasah kelebihan yang kita miliki agar kelebihan itu dapat menumbuhkan rasa percaya diri kita. Misalnya, kita dapat mengikuti kursus – kursus atau kompetisi-kompetisi yang dapat menumbuhkan bakat dan minat yang kita miliki. Hal inilah, yang dapat membantu kita untuk menemukan apa yang selama ini tidak dapat kita temukan dalam diri kita.
Konsep diri terdiri dari 5 komponen
( Stuart dan Sundeen,1991 ) yaitu :
1). Gambaran diri
Gambaran diri adalah sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar atau tidak sadar termasuk persepsi dan perasaan tentang ukuran dan bentuk, fungsi penampilan dan potensi tubuh saat ini dan masa lalu. Gambaran diri ini harus realistis karena lebih banyak seseorang menerima dan menyukai tubunnya akan lebih aman sehingga harga dirinya meningkat.
Perubahan pada tubuh seperti perkembangan payudara, perubahan suara, menstruasi dsb. Merupakan perubahan yang dapat mempengaruhi gambaran diri seseorang.
2) Ideal diri
Ideal diri adalah persepsi individu tentang bagaimana ia harus berprilaku sesuai dengan standar pribadi. Standar ini dapat berhubungan dengan tipe orang atau sejumlah aspirasi cita-cita nilai yang di capai. Ideal diri mulai berkembang pada masa kanak-kanak yang dipengaruhi oleh orang penting dari dirinya yang memberikan tuntutan atau harapan. Pada masa remaja, ideal diri akan dibentuk melalui proses identifikasi pada orang tua, guru dan teman. Ideal diri sebaiknya ditetapkan lebih tinggi dari kemampuan individu saat ini tapi masih dalam batas yang dapat dicapai. Ini diperlukan oleh individu untuk memacu dirinya ketingkat yang lebih tinggi.
3) Harga diri
Harga diri adalah penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai degan menganalisa seberapa jauh prilaku memenuhi ideal diri.
Harga diri yang tinggi berakar dari penerimaan diri tanpa syarat sebagai individu yang berarti dan penting walaupun salah, gagal atau kalah. Hargadiri diperoleh dari penghargaan diri sendiri dan dari orang lain yaitu perasaan dicintai, dihargai dan dihormati.
Frekuensi pencapaian tujuan akan menghasilkan harga diri tinggi atau juga harga diri rendah. Jika individu selalu berhasil maka cenderung mempunyai harga diri yang tinggi dan jika individu sering mengalami kegagalan maka cenderung mempunyai harga diri yang rendah.
Untuk meningkatkan harga diri dapat dilakukan dengan cara:
a. Memberi kesempatan untuk berhasil yaitu dengan memberikan tugas yang kemungkinan dapat di selesaikan, kemudian diberi pujian atau penghargaan atas keberhasilannya.
b. Menanamkan gagasan dengan member gagasan yang dapat memotivasi kreatifitas untuk berkembang.
c. Mendorong aspirasi dengan menaggapi pertanyaan dan pendapatnya serta member dukungan terhadap aspirasi yang positif sehingga merasa diterima.dll
Harga diri akan meningkat sesuai dengan meningkatnya usia dan sangat terancam pada masa pubertas. Pada saat ini, hargadiri banyak mengalami perubahan karena dampak keputusan yang harus dibuat menyangkut dirinya sendiri. Pada masa remaja dituntut untuk mementukan pilihan, posisi, dan peran dan memutuskan apakah mampu meraih sukses dari suatu bidang tertentu.
Pada masa dewasa, harga diri semakin stabil dan memberikan gambaran yang jelas tentang dirinya, Hal ini didapatkan dari pengalaman menghadapi kekurangan yang ada pada diri dan meningkatkan kemampuan secara optimal.
4). Peran
Peran adalah pola sikap, prilaku, nilai dan tujuan yang di harapkan dari seseorang berdasarkan posisinya di masyarakat. Posisi di masyarakat dapat menjadikan stressor terhadap peran karena struktur sosial yang menimbulkan kesukaran atau tuntutan posisi yang tidak mungkin dilaksanakan. Stres peran terdiri dari konflik peran, peran yang tidak jelas, peran yang tidak sesuai dan peran yang berlebihan.
Konflik peran dialami jika peran yang diminta konflik dengan system individu atau peran yang konflik satu sama lain
Peran tidak jelas, terjadi jika perilaku diberi peran yang tidak jelas dalam hal perilaku dan penampilan yang diharapkan.
Arti peran tidak sesuai terjadi jika indifidu dalam proses transisi merubah nilai dan sikap
Peran berlebihan terjadi jika individu menerima banyak peran tetapi tidak mampu untuk melakukannya.
5). Identitas
Identitas adalah kesadaran akan diri yang bersumber dari observasi dan penilaian yang merupakan sintesa dari semua aspek konsep diri sebagai suatu kesatuan yang utuh.
Seseorang yang mempunyai perasaan identitas diri yang kuat adalah seseorang yang memandang dirinya berbeda dengan orang lain termasuk persepsinya terhadap jenis kelamin, memiliki otonomi yaitu mengerti dan percaya diri, respek diri, mampu dan menguasai diri, mengatur diri sendiri dan menerima diri.
Siri-ciri individu dengan identitas diri positif adalah:
a. Mengenal diri sebagai organism yang utuh, terpisah dari orang lain.
b. Mengakui jenis kelamin sendiri
c. Memandang berbagai aspek diri sebagai suatu keselarasan
d. Menilai diri sesuai dengan penilaian masyarakat
e. Menyadari hubungan masa lalu, sekarang dan yang akan datang
f. Memiliki tujuan yang dapat direalisasikan
KONSEP DIRI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENCAPAPAIAN AKADEMIK
Konsep diri merupakan seperangkat instrument pengendali mental dan karenanya mempengaruhi kemampuan berpikir seseorang. Gunawan (2005) menyebutkan bahwa seseorang yang mempunyai konsep diri positif akan menjadi invidu yang mampu memandang dirinya secara positif, berani mencoba dan mengambil resiko, selalu optimis, percaya diri, dan antusias menetapkan arah dan tujuan hidup. Terkait dengan pencapaian akademik, hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh Shupe dan Yager (2005) dan Yeung dan Marsh dalam O’Mara dkk (2006) menunjukkan bahwa konsep diri dan pencapaian akademik siswa adalah dua hal yang saling memperngaruhi. Hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa dalam berbagai tingkatan mulai dari sekolah dasar sampai dengan perguran tinggi, seseorang dengan konsep diri yang positif cenderung memiliki pencapapaian akademik yang lebih baik.
Bagaimakah sebenarnya konsep diri dapat mempengaruhi pencapaian akademik seseorang? Atau sebaliknya, bagaimanakan pencapaian akademik mempengaruhi konsep diri seseorang? Tripp Jr (2003), Shupe dan Yager (2005) mengemukakan bahwa seseorang dengan konsep diri positif akan mempunyai kemampuan interpersonal dan intrapersonal yang baik pula, yang memungkinkan untuk melakukan evaluasi secara obyektif terhadap dirinya sendiri. Sementara itu menurut Germer (2004), konsep diri merupakan kunci untuk membangun komunikasi terbuka antara guru dan murid sehingga mnciptakan partisipasi aktif antara keduanya dalam kegiatan belajar mengajar. Baik Germer dan Yager, menyimpulkan bahwa dengan konsep diri positif akan meminimalisasi munculnya kesulitan belajar dalam diri siswa. Berkurangnya kesulitan belajar inilah yang pada akhirnya memungkinkan siswa untuk mendapatkan penguasaan akademik yang lebih baik. Dari sini, nampak bahwa konsep diri positif menjadi pemacu keberhasilan akademik. Meskipun demikian, menarik untuk mencermati penemuan Yan dan Haibui (2005) yang mengungkapkan bahwa anehnya pada anak-anak yang berbakat atau mempunyai kemampuan akademik yang mengagumkan, didapatkan konsep diri negatif meski tidak signifikan. Menurut Syah (2007), siswa yang sangat cerdas dapat mempunyai konsep diri yang negatif yang ditandai dengan munculnya kesulitan belajar dikarenakan tuntutan keingintahuannya dirasakan tidak diperlakukan secara adil.
KONSEP DIRI , PERKEMBANGAN DAN FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
Perkins (1958) menyatakan bahwa konspe diri adalah semua persepsi, kepercayaan, perilaku dan nilai-nilai yang digunakan diri seseorang untuk mendeskripsikan dirinya sendiri, dan konsep diri seorang anak berubah seiring dengan cara pandang dirinya pada suatu periode waktu. Sementara itu, Smith dkk (1977) mengungkapkan bahwa konsep diri adalah suatu cara pandang yang kompleks dan dinamis dalam diri seseorang terhadap dirinya sendiri dan konsep diri adalah sesuatu yang terukur. Konsep diri diukur dalam dua area yaitu akademik dan non akademik. Gunawan (2005) menyebutkan bahwa konsep diri akademik terkait dengan kemampuan verbal/bahasa dan matematika. Sedangkan untuk non akademik, menurut Marsh dalam Yan dan Haihui (2005), konsep diri diukur melalui delapan parameter yang mencakup: penampilan fisik, kemampuan fisik, hubungan sesama jenis, hubungan lain jenis, hubungan dengan orang tua, kestabilan emosi, kepercayaan dan kejujuran, serta konsep diri secara umum.
akan terus berkembang sejalan dengan perkembangan individu itu sendiri. Konsep diri individu terbentuk melalui imajinasi individu tentang respon yang diberikan oleh orang lain. Dalam proses tersebut, konsep diri dipengaruhi oleh beberapa factor. Puspasari (2007) menyatakan bahwa perkembangan dari proses pengenalan diri sendiri dipengaruhi oleh factor yang mengikuti perkembangan seorang anak seperti pengaruh keterbatasan ekonomi, isolasi lingkungan, ataupun pengaruh usia individu tersebut
Tidak ada komentar:
Posting Komentar